Sabtu, 11 Juni 2011

Pelayanan KRL Tak Kunjung Membaik


Angkutan massal yang menghubungkan daerah perbatasan Jakarta dan sekitarnya, memang masih didominasi kereta api, baik Kereta Rel Listrik (KRL) maupun Kereta Rel Diesel (KRD). Namun semakin berkembanganya permukiman di pinggiran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Depok dan Bekasi (Bodetabek), layanan itu tidak ditambah, malah seakan seperti dianaktirikan, terutama yang KRL dan KRD kelas ekonomi. Setiap hari pada jam sibuk ibu-ibu hamil, anak kecil dan orang lanjut usia dipaksa berdesak-desakan. Bahkan ratusan orang terpaksa duduk di atap KRL atau KRD. Ini karena gerbong yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah penumpang. Belum lagi kalau ada pembatalan keberangkatan, dipastikan penumpang seperti dalam kaleng sarden, terhimpit, panas dan peluh pun bercucuran. Beberapa penumpang malah nekat naik di atap, tanpa mempedulikan keselamatannya. “Habis bagaimana lagi, kalau tidak naik, ke tempat kerja kesiangan,” tutur Naryo, 34, pekerja di kawasan Glodok Jakarta Barat. Dia menuturkan setiap
pagi pukul 07:00, menjadi penumpang setia KRD Purwakarta-Jakarta, ayah dua anak
ini menunggu di Stasiun KA Tambun, Kabupaten Bekasi, bersama puluhan rekannya.
Menurutnya, untuk kawasan Cikampek, Kosambi, Klari, Karawang, Kedunggede, Cikarang, Cibitung dan Tambun, hanya KRD ini yang membawa mereka ke arah Barat. “Kalau penumpang Bekasi ke barat, banyak sekali alternatifnya, ada KRL ekonomi, KRL
 AC ekonomi dan KRL AC,” sebut Naryo. Sedangkan Nabila, 25, karyawati yang bekerja di kawasan Manggadua Square, menuturkan menumpuknya penumpang di kelas ekonomi karena ada perbedaan yang mencolok soal tiket. Dia menyebutkan KRL AC ekonomi tiketnya Rp 6.000/orang, sedangkan yang KRL ekonomi Rp 2.500. “Jelas mereka yang berpenghasilan pas-pasan memilih KRL ekonomi,” ujar warga Margahayu, sambil mengatakan kalau tiket KRL AC ekonomi diturunkan menjadi Rp 3.500, kemungkinan menumpuknya penumpang di KRL ARMADA KURANG Meningkatnya jumlah penumpang kereta komuter ini bukan saja menyebabkan penumpang menumpuk di satu
jam pemberangkatan, tetapi malah mengesampingkan keselamatan penumpang dengan
memaksa naik di kabin dan atap. Eman Sulaeman, Kepala Stasiun KA Bekasi mengatakan, jumlah penumpang KRL tahun 2009 tercatat 4.229.587 orang atau 11.587 orang setiap hari. Tahun 2010 jumlahnya bertambah menjadi 4.755.313 orang atau 13.028 orang setiap hari. Pertambahan jumlah penumpang sebanyak 525.726 orang atau rata-rata 1.441 orang per hari itu menandakan KRL masih menjadi transportasi andalan. Biarpun diandalkan, Eman mengakui KRL punya kekurangan, terutama saat jam sibuk, yakni saat orang berangkat dan pulang kerja. Saat itulah warga berimpitan dalam gerbong. Kondisi itu baru bisa diatasi jika menambah frekuensi keberangkatan
 dari 50 kali sehari menjadi 100 kali. Penambahan itu untuk memangkas lagi waktu keberangkatan antarkereta pada jam sibuk. BOGOR Sementara itu, kepadatan penumpang menjadi pemandangan biasa di Stasiun Besar Bogor, Jawa Barat. Apalagi saat KRL Ekonomi datang atau keluar dari Depo Stasiun Bogor. Aksi berebut kursi tak dapat dihindari. “Siapa cepat, dia dapat,” cetus Ahmad Subgja, komuter (sebutan penumpang setia KRL-red) asal Bojonggede. Sudah menjadi kebiasan komuter KRL
ekonomi. Mereka mau naik saja, susah. Setelah di dalam gerbong KRL, sudah pasti berdiri berdesakan, bau sumpek, kaki terinjak, tubuh tergencet, ditambah lagi harus
berbagi dengan pedagang asongan. “Sudah biasa. Keluar dari KRL ekonomi seperti habis mandi sauna(keringat-red),” timpal Dadang, komuter lainnya. Dulu, kereta api dianggap sebagai angkutan rakyat paling aman dan nyaman. Kini, kondisinya jauh berbeda. Selain potret keseharian dan keluhan komuter di atas, KRL juga kini menjelma menjadi alat transportasi berbahaya. Lihat saja, seringnya KRL ekonomi Jakarta-Bogor anjlok atau tabrakan. Belum lagi pelecehan seks dan tindak kriminalitas. Wakil Kepala Stasiun
Bogor Syarief Budiman, mengetakan, pihaknya perlahan tapi pasti akan menbenahi
KRL Ekonomi dengan memberikan pelayanan yang aman dan nyaman. Diakuinya,
peningkatan itu tidak dapat disamakan dengan KRL Ekonomi AC atau Pakuan AC.
“Kodisinya berbeda,” katanya. Seperti penertiban pedagang asongan di dalam gerbong, tak pernah membuahkan hasil. Hari ini ditertibkan besok muncul lagi. Begitupula tindak kejahatan dan pelecehan seksual. Menurut dia, sistem keamanan KRL kurang memadai, karena terbatasnya jumlah petugas. Sehingga rentannya terjadi tindak kriminalitas.
Kami
 sering menerima pengaduan mengenai tindak kriminalitas. Kami sudah berusaha maksimal, tapi terbatas personel. Penumpang ekonomi sulit diatur, sehingga kami sulit mengontrol kondisi gerbong secara keseluruhan,” pungkasnya. Mengenai isu KRL ekonomi akan dibatasi kemudian perlahan-lahan diganti KRL ekonomi AC yang baru, dia
menolak menjelaskan. “Soal itu kebijakan direksi PT KA,” katanya. Carut-marutnya KRL Jabodetabek menurut pengamat Transportasi dari Forum Transportasi Perkotaan
(MTI) Damantoro lantaran lambannya manajemen KRL Jabodetabek membuat terobosan. “Reformasi total harus dilakukan dalam penyelenggaraan KRL Jabodetabek,”
katanya. PT KA, seharusnya menghilangkan pola pikir berorientasi proyek, jika masih menghendaki KRL menjadi pilihan utama
 moda transportasi masyarakat. “Masyarakat hanya bisa mengeluh. Toh, akhirnya ikut juga dengan kebijakan PT KA. Seharusnya PT KA mengimbangi dengan pelayanan yang lebih baik,” ucapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar